top of page
  • Google+ Social Icon
  • Twitter Social Icon
  • LinkedIn Social Icon
  • Facebook Social Icon

KELUARGA CEMARA

  • Writer: Jeri Wongiyanto
    Jeri Wongiyanto
  • Apr 5, 2019
  • 2 min read

Ketika Airmata Menjadi Simbol Kebahagiaan

ree

Oleh Jeri Wongiyanto

Pecinta dan Pengamat Film


“Emak kok nangis?” tanya Ara (Widuri Putri Sasono) sambil memeluk Emak (Nirina Zubir) yang baru saja memberitahu Abah (Ringgo Agus Rahman) bahwa dirinya positif hamil anak ketiga. Pertanyaan Ara yang berusia 6 tahun adalah ungkapan keheranannya, karena Abah menyebut hal ini adalah kabar gembira. Ara tidak tahu apa yang berkecamuk di hati Emak. Di tengah kondisi keluarganya yang jatuh miskin, sementara Abah sedang sakit patah kaki, dirinya harus mengandung anak lagi. “Emak menangis karena bahagia. Menangis kan tidak harus karena sedih,” kata Abah menjelaskan, Ara pun mengerti, ia berujar pelan, “Dedek” sambil mengelus-elus perut bundanya.


Itulah salah satu adegan film Keluarga Cemara, yang membuat mata penonton berkaca-kaca. Betapa airmata bisa menjadi simbol kebahagiaan di tengah berat dan sulitnya himpitan hidup. Bagi keluarga cemara yang terdiri dari Abah, Emak, Euis (Zara JKT 48) dan Ara, air mata kepahitan bisa berubah menjadi kebahagiaan.


Film Keluarga Cemara merupakan remake dari salah satu serial sinetron legendaris berjudul sama yang sangat populer di tahun 90an karya novelis gaek Arswendo Atmowiloto. Selain film, Keluarga Cemara juga terbit dalam bentuk novel yang dipublis Gramedia pada November 2013. Kini filmnya ditangani sutradara Yandy Laurens kelahiran Makassar. Bersama Gina S. Noer, Yandy juga menulis skenarionya. Film ini juga merupakan debut pertamanya menangani film layer lebar. Sebelumnya Yandy sukses pada FFI 2012, filmnya Wan An menang sebagai film pendek terbaik. Sutradara muda ini patut mendapat pujian, film Keluarga Cemara ini digarap dengan apik dan akan tetap melekat di hati penonton.


Film ini masih terfokus pada kehidupan Abah, Emak serta kedua anak mereka. Sama cerita di sinetronnya, film ini juga mengisahkan tentang perjalanan keluarga Abah yang tadinya hidup berkecukupan dan mapan lalu kemudian mendadak bangkrut, gara-gara tertipu ulah kakak iparnya sendiri (Aryo Wahab).


Satu-satunya warisan peninggalan ayahnya, terletak di desa terpencil yang jauh dari kota, Dengan keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki, Abah yang selalu merasa bersalah karena membuat keluarganya menderita, berusaha menjadi kepala keluarga yang bertanggungjawab. Abah tak kenal lelah bekerja demi makan sehari-hari. Untung saja, Emak selalu tegar mendampinginya, dan berusaha menjadi sandaraan di saat Abah dan anak-anaknya sedih. Masa adaptasi yang tadinya kaya menjadi miskin, tentu akan banyak masalah yang timbul, terutama pada Euis dan Ara, belum lagi saat Abah sakit karena patah kaki dan Emak yang ternyata harus mengandung anak lagi.


Dengan sinematrografi yang menawan, dibalut musik dan theme song yang memikat. Akting Ringgo dan Nirina turut menguatkan film ini. Yang patut dicatat adalah kepiawian akting Widuri Putri Sasono (putri penyanyi Widi B3), ia bermain gemilang.


Film yang bersetting lebih kekinian ini mampu mengaduk-aduk emosi penonton. Konflik-konflik yang tersaji bisa menguras airmata, ditambah dialog-dialog keluarga terasa sangat mengena di hati. Banyak pesan moral yang akan kita dapatkan. Seperti theme song yang sangat terkenal “Harta yang paling berharga adalah keluarga”. Jangan sampai Anda sekaluarga melewatkan film ini. (*)

Comments


SIGN UP AND STAY UPDATED!
  • Instagram Social Icon
  • Facebook Social Icon
  • LinkedIn Social Icon
  • Twitter Social Icon

© 2019 by Jeri Wongiyanto

bottom of page