Film Bumi Manusia
- Christian Ananta
- Aug 21, 2019
- 2 min read
Pembuktian Hanung “Membumikan” Bumi Manusia

Oleh Jeri Wongiyanto
Pecinta dan Pengamat Film
BUKAN perkara mudah mengadaptasi novel fenomenal “Bumi Manusia” ke layar lebarr. 39 tahun lalu sejak bukunya dirilis kemudian sempat dilarang beredar pada masa Orde Baru. Perjalanan panjang menfilmkan novel ini juga menjadi catatan yang menarik, bermula dari keinginan sutradara Hanung Bramantyo meminta izin pada Pramoedya Ananta Toer menfiilmkan kisah Nyai Ontosoroh, tokoh yang ada dalam novel Bumi Manusia, saat itu Hanung masih kuliah, namun ditolak oleh Pram.
Lalu kemudian sutradara Hollywood kawakan Oliver Stone yang membuat film “Platoon” (1986) “JFK” (1991) sempat menawarnya dengan harga yang sangat tinggi, tapi Pram juga menolaknya, karena alasan ingin orang Indonesia yang menggarapnya. Ada banyak sutradara yang ingin membuat film ini, seperti Garin Nugroho, Riri Reza, hingga kemudian jatuh kembali ke tangan Hanung. Dan inilah pembuktian Hanung, bahwa di tangannya karya sastra hebat milik Pram, berhasil diangkat ke layar lebar
Berkisah tentang seorang pribumi bernama Minke (Iqbaal Ramadhan) pelajar di HBS (Hogere Burger School) atau SMU nya para kaum Belanda dan priyayi. Di masa remajanya, ia jatuh cinta dengan Annelies (Mawar Eva de Jongh) gadis manja keturunan Belanda, putri seorang pribumi, Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) dan bangsawan Belanda, Hertman Mellema (Giargino Abraham).
Cinta yang tumbuh di tengah konflik sosial dan ketidak adilan di masa penjajahan Belanda inilah yang akan dinikmati penonton. Tak hanya itu, ada kisah perjuangan Nyai Ontosoroh, istri simpanan Herman Mellema yang dipandang miring oleh masyarakat, tetapi kemudian belajar menjadi pengusaha sukses. Juga betapa Minke tersadar pada rasa kebangsaan dan kemanusiaannya bangkit lewat benturannya dengan berbagai orang.
Hanung sangat cerdas membangun pondasi film ini, pilihannya menyorot kisah cinta Minke dan Annelies adalah sangat tepat agar film ini ditonton banyak orang, terutama kaum milenial. Walaupun harus mengorbankan banyak hal, termasuk konflik di balik kisah tokoh-tokohnya. Durasi tiga jam bukanlah waktu yang cukup untuk memaparkan semua konflik yang ada dalam novel Pram. Untungnya, Hanung memberi ruang dan waktu pada karakter Nyai Ontosoroh yang ternyata bisa memberi nyawa dan roh pada film ini menjadi lebih kuat.
Pemilihan Iqbaal Ramadhan yang sebelumnya sangat ngetop di film Dilan mungkin sukses menggaet kaum milenial, namun ia belum sepenuh berhasil memerankan tokoh Minke sebagai tokoh pemuda pergerakan yang penuh gejolak. Iqbaal belum mampu menghadirkan emosi MInke sebagai “budak” di negerinya sendiri secara utuh. Semoga saja jika film ini dibuat sekuelnya. Iqbaal bisa lebih total lagi.
Di banding novelnya, seingat saya (saya membacanya 20 tahun silam),masalah yang begitu kompleks dalam buku, digambarkan sederhana. Misalnya, cara pandang Minke tentang bangsa Eropa yang hebat dan disebuitnya modern, namun kemudian berubah ketika melihat pribumi atau bangsanya sendiri sebenarnya bisa lebih hebat. Hanung dengan cerdas memaparkan ini dengan bersahaja tanpa membuat penonton berpikir lama.
Secara keluruhan film ini berhasil digarap Hanung dengan baik, suasana Surabaya tempo dulu, cukup memanjakan mata, Hanung menggarap “Bumi Manusia” di ‘bumi’ yang dibuatnya sendiri, ia membangun set besar studio di Gamplong Jogjakarta sebesar 2,5 hektar. Studio yang sama saat Hanung menggarap Sultan Agung. (*)
Comments